Marilah bersama memulai berjalan mengembara menuju Allah,dengan menyebut nama Allah yang maha Pengasih lagi Penyayang.Segala puji bagi Allah ,Tuhan seluruh Alam.Semoga Allah mencurahkan shalawat kepada penghulu kita Muhammad SAW.keluarga dan para sahabatnya.
Tujuan kita melangkahkan kaki di muka bumi ciptaan Allah ta’ala adalah untuk sampai kepada Allah karena dicintai Allah atau menjadi kekasih Allah (Wali Allah)
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Kita semua umat Islam dapat menjadi kekasih Allah dengan menjalankan segala perbuatan/ibadah “yang Allah ta’ala diamkan” yakni perbuatan/ibadah berdasarkan kesadaran sendiri dari hamba Allah atau amal kebaikan / amal sholeh atau perkara/amalan sunnah. Perbuatan/ibadah yang diharapkan timbul atas kesadaran/kemauan sendiri bagi diri hamba Allah , jika tidak timbul kesadaran tsb maka Allah ta’ala diamkan.
Masjid Raya Baiturrahman,Banda Aceh,Indonesia
Dari Abu Huriroh rodhi Allahu ta’ala ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah ta’ala berfirman, barang siapa memusuhi wali-Ku maka aku izinkan untuk diperangi. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amal ibadah yang lebih aku cintai dari pada perkara yang Aku wajibkan. Hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku denganamalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Akulah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Akulah penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Akulah tangannya yang dia gunakan untuk berbuat, Akulah kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan Aku berikan, jika dia meminta perlindungan pada-Ku, akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Lawan dari perbuatan/ibadah berdasarkan kesadaran sendiri adalah perbuatan/ibadah ketaatan atau yang disyaratkan sebagai hamba Allah yakni perbuatan/ibadah yang harus dikerjakan dan harus ditinggalkan yakni perkara yang hukumnya Wajib , hukumnya Haram (bentuknya batas/pelarangan dan pengharaman).
Perbuatan/ibadah ketaatan adalah yang dimaksud oleh Allah ta’ala pada hadits diatas sebagai “perkara yang Aku wajibkan“
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi).
Salah satu perbuatan/ibadah termasuk yang “Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya” atau amal sholeh atau amal kebaikan agar kita mejadi muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan atau muslim yang terbaik adalah zuhud
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya)
Pahami bagian yang di bold “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu”
Allah mencintai kita maka kita menjadi kekasih Allah (wali Allah).
Seluruh perkara sunnah diluar/selain yang Allah katakan sebagai “perkara yang Aku wajibkan” pada hakikatnya jika dilaksanakan maka Allah akan mencintai kita seperti berdzikir, berdoa, sholat sunnat rawatib, tahajud, dhuha dan sholat sunnat lainya termasuk sekedar menjaga wudhu (selalu berwudhu setiap kali batal) atau bahkan menyingkirkan batu di jalan. Perbuatan/Ibadah inilah yang dilaksanakan atas kesadaran sendiri dari hamba Allah atau amal kebaikan atau amal sholeh.
Masjid Kubah Emas Depok – Indonesia
Dalam agama Islam ada 3 pokok utama yakni
Tentang Islam (rukun Islam/Fiqih), Tentang Iman (rukun Iman/Ushuluddin/I’tiqad), Tentang Ihsan (akhlak/tasawuf dalam Islam)
Tasawuf dapat dikatakan sebagai perjalanan (suluk) seorang hamba Allah menuju atau agar sampai (wushul) kepada Allah.
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.” ( QS An Nisaa’ [4]:175 )
Pada hakikatnya Tasawuf (tentang Ihsan) bukanlah sebuah ilmu atau sebuah pemahaman namun sebuah amal atau perbuatan atau “perjalanan” atau dikenal dengan suluk dan “pejalan”nya disebut seorang salik.
Sedangkan Fiqih, Ushuluddin, I’tiqad dll yang merupakan pendalaman/pengamalan rukun Iman, dan rukun Islam adalah syariat/syarat “perjalanan”, rambu2 dan petunjuk “perjalanan”, tanpa syariat/syarat maka “perjalanan” akan tersesat atau sebagian mengatakan termasuk zindiq.
Pada hakikatnya setiap hamba Allah yang mempunyai kesadaran sendiri untuk menuju kepada Allah akan dapat memahami dan merasakan bahwa Allah ta’ala yang membimbing walaupun secara dzahir dibimbing oleh seorang/beberapa mursyid (pembimbing)
“…Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu (membimbingmu/memimpinmu); dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al Baqarah, 2: 282)
“Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An Nuur [24]:35 )
Beberapa sarana bimbingan adalah melalui mursyid , hati, mimpi, suatu kejadian/cobaan dan bentuk-bentuk lain atas kehendakNya
Masjid Bandar Seri Begawan (Brunei Darussalam)
“Perjalanan” yang dilakukan seorang hamba Allah menuju kepada Allah sebaiknya tidak dilakukan seorang diri karena kemungkinan tersesatnya akan besar sekali dan godaan syetanpun semakin besar dan semakin halus (semakin sukar dibedakan antara kebenaran dengan kesesatan), godaaan syetan berbanding lurus dengan tingkat perjalanan yang telah dilampaui atau disebut juga dengan maqam, jadi tingkatan/pangkat syetan yang menggoda mengikuti tingkatan(maqam) salik itu sendiri.
Oleh karenanya dibutuhkan seorang/beberapa mursyid (pembimbing) yang telah mengetahui/melewati “jalan yang lurus”.
Thariqat adalah jalan yang telah dilalui oleh seorang mursyid yang mengikuti jalan mursyid yang membimbing dan seterusnya dikenal sebagai sanad ilmu atau dengan pengijazahan thariqat.
“Jalan yang lurus” atau jalan orang-orang yang telah bersyahadat di atasnya ada beberapa jalur/cabang/furuiyah. Inilah yang disebut dengan thariqat atau juga untuk yang hamba Allah yang hanya mengenal tentang syariat (rukun Islam dan rukun Iman) saja disebut dengan madzhab atau manhaj.
Masjid Sheikh Zayed Bin Sultan Al Nahyan, Abu Dhabi, Uni EmiratArab
Semua hamba Allah yang telah bersyahadat baik yang hanya mengenal tentang syariat saja (rukun Iman dan rukun Islam) maupun ditambah menjalankan Tasawuf (ihsan) adalah mereka yang berada pada jalan yang lurus menuju kepada Allah.
Pertanyaannya adalah seberapa cepat sampai kepada Allah, seberapa cepat dapat seolah-olah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati atau disebut Ihsan.
“Tak ada satu orang pun yang bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan Muhammad rasul Allah yang ucapan itu betul-betul keluar dari kalbunya yang suci kecuali Allah mengharamkan orang tersebut masuk neraka“. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Tasawuf adalah tentang akhlak , akhlak melakukan “perjalanan”
Akhlak sebagai hamba Allah terhadap Allah, akhlak sebagai hamba Allah terhadap ciptaanNya yang lain seperti alam, hewan, tumbuh2-an, dll , termasuk akhlak dengan sesama manusia apalagi akhlak dengan sesama muslim / saudara.
Tasawuf adalah tentang tazkiyatun nafs, menyucikan jiwa
Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47)
Masjid Badshahi, Lahore, Pakistan
Tasawuf adalah mengenal Allah (ma’rifatullah). mengenal dzatNya melalui namaNya, sifatNya dan perbuatanNya. Juga termasuk memahami seperti contoh beberapa hadits di atas, bagaimana memahami “yang Allah ta’ala diamkan”, “perkara yang Aku wajibkan”,beda maafNya dengan ridhoNya Contoh perbedaan silahkan baca tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/11/ridho-allah-taala/
Tasawuf atau perjalanan adalah perbuatan/ibadah yang termasuk atas kemauan/kesadaran sendiri atau amal kebaikan / amal sholeh atau perkara sunnah yang dicintai Allah. Tasawuf targetnya adalah menjadi muslim yang sholeh atau muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin) atau shiddiqin atau sufi . Semua ini hakikatnya sama.
Siapakah muslim yang ihsan ?
Firman Allah dalam (QS Lukman [31]: 1-7 )
[31:1] Alif Laam Miim
[31:2] Inilah ayat-ayat Al Quraan yang mengandung hikmat
[31:3] menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan (muhsinin)
[31:4] (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.
[31:5] Mereka itulah orang-orang yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Masjid Istiqlal, Jakarta Indonesia
Dari ayat-ayat tersebut dapat kita pahami muhsin/muhsinin adalah,
- Seorang muslim (diwakilkan dengan mendirikan sholat, menunaikan zakat dan yakin akan akhirat) dan
- Orang-orang yang berbuat kebaikan atau orang-orang yang beramal sholeh
Berbuat kebaikan dilakukan oleh orang yang melakukan perjalanan atau orang-orang yang hanya tahu tentang rukun Iman dan rukun Islam , namun pertanyaannya adalah seberapa cepat mampu seolah-olah melihatNya atau melihat Allah ta’ala dengan hati karena inilah bukti bahwa telah sampai (wushul) kepada Allah.
Selambat-lambatnya seorang muslim mendapatkan karunia Allah untuk dapat melihat Allah adalah ketika di akhirat nanti.
Sedangkan mereka yang telah sampai kepada Allah di dunia atau mampu seolah-olah melihat Allah di dunia mereka tidak akan khawatir atau bersedih atau mereka yang merasakan kesenangan dalam shalat (sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah), seolah berjumpa dengan Allah dalam shalat, puasa, zakat dan ibadah haji. Hakikatnya adalah mereka yang benar-benar telah bersaksi (syahid/menyaksikan) tiada tuhan selain Allah.
”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati“. (QS Yunus [10]:62 )
Semoga kita semua bisa menjadi wali-wali Allah, Shiddiqin, muslim yang ihsan, muslim yang sholeh. Sehingga kita bisa termasuk yang disholawatkan oleh seluruh muslim sampai akhir zaman.
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
“Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Sesuai janji Allah ta’ala maka setiap muslim yang sholeh (muhsin) atau orang-orang beriman dan beramal sholeh maka akan masuk surga tanpa di hisab,
Janji Allah swt dalam firmanNya yang artinya.
“….Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab.” (QS Al Mu’min [40]:40 )
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”. (QS An Nisaa’ [4]:124
Marilah kita berlomba-lomba menuju kepada Allah, berlarilah kepada Allah , “Fafirruu Ilallah” berlomba-loba untuk dapat seolah melihat Allah atau melihat Allah dengan hati.
Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab, “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan …”.
Asy-Syaikh al imam al muhaqiq Abul Fadlil Tajjudin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Atha’illah as Sakandari memberikan bimbingan dalam Al Hikam dan diberi syarah oleh Syaikh Sa’id Hawwa dalam Mudzakiraat fi Manazilis Shiddiqien wa Rabbaniyyin ( dalam versi bahasa indonesia “Rambu Rambu Jalan Rohani “diterjemahkan : Imran Affandi ) inilah kutipanya:
Untuk meraih keridhaan Allah,seorang muslim diwajibkan dengan amal dan dalam waktu yang sama ia diwajibkan untuk tidak bersandar kapada amalnya.hal ini dimaksudkan agar ia dapat sampai kepada keridlaan Allah, sebab betapapun ia telah melaksanakan suatu amal, ia tidak dapat menunaikan hak Allah,dan tidak dapat melakukan kewajiban untuk mensyukuri Nya.
“ Sekali kali jangan (begitu) ;dia (manusia) itu belum melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.: ( ‘Abasa:23).
“ ……. Jika kamu menghitung nikmat Allah,kamu sekalian tidak akan mampu menghitungnya……….. “.(Ibrahim :34)
Karena itu seorang muslim dituntut untuk tidak bergantung kepada amalnya,Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda :
“Berlakulah kamu setepat dan sedekat mungkin ( tidak berlebihan dan tidak kurang ).Ketahuilah amal salah seorang dari kalian tidak akan memasukannya ke dalam surga.Mereka bertanya ;”Engkaupun tidak, ya Rosullah “?.Baginda bersabda:”Akupun tidak,hanya saja Allah meliputiku dengan ampunan dan rahmad (diriwayatkan oleh enam imam).
Dalam meninggalkan ketergantungan kepada amal terdapat banyak hikmah yang bertautan dengan pemahaman tentang Allah dan yang berhubungan dengan pembersihan jiwa.Bersandar kepada amal menyebabkan tertipu, ‘ujub, lancang dan tidak sopan terhadap Allahs serta merasa dirinya mempunyai hak hak di sisi Allah,dan itu semua berbahaya.Jika bersandar kepada amal adalah sumber kesalahan dan bahaya, dan itu bertentangan dengan maqam maqam shiddiqun.maka Ibnu ‘Athaillah mengawali pembahasan dengan menunjukan kapada kita paramater/ tanda tanda untuk mengetahui apa kita bersandar kepada amal amal saleh, lantas mengabaikan bersandar kepada Allah.
Apakah tanda tanda yang menunjukan bahwa anda bersandar kepada amal anda, atau anda bergantung kapada Allah?Tentu Syaikh Ibnu ‘Atha’illah tidak mengatakan :”Tinggalkan Amal amalmu”.bahkan sebaliknya beliau justru memotivasi kita untuk beramal namun ia ingin mengarahkan perhatian kita pada satu persoalan yang dari celah celahnya kita dapat mengetahui apakah kita bersandar kepada Allah,atau kepada amal kita.Yang demikian itu dikarenakan seorang muslim harus memilih keyakinan yang sempurna kepada Allah dalam setiap keadaan,dan hendaknya keyakinan itu perlahan lahan kian meningkat dan berkembang
Ketika anda dapati diri anda telah tergelincir dan telah berbuat kesalahan, lantas hal itu mengakibatkan berkurangnya keyakinan terhadap Allah dan susutnya penyadaran diri kepadaNYA,maka itu menunjukan bahwa pada dasarnya anda bersandar kapada amal amal anda dan tidak bergantung kepada ALLah.Karena itu syekh Ibnu ‘Atha’illah berkata :”Sebagian dari tanda ketergantungan kepada amal ialah kurangnya Raja’ (pengharapan kapada Allah) ketika terjadi suatu kesalahan atau dosa.
Jika keyakinan kita terhadap Allah begitu sempurna, dan jika harapan kita terhadap Allah pun maksimal, maka segala apa yang terjadi tidak akan mempengaruhi dasar pengharapan, keyakinan, dan tawakal kepada Allah.Jika anda jatuh dalam dosa, maka anda bertobat kapada Allah dengan meyakini kesempurnaan tobat anda.Dunia selalu berubah terhadap anda, namun keyakinan dan kepasrahan kepada Allah tak pernah goyah, bahkan terus berkembang.Jika terjadi kegagalan dalam urusan dunia, atau sebab sebab ( untuk memperolehnya) melemah, atau anda jatuh dalam dosa dan maksiat, lalu karena itu semua menjadi ringan keyakinan anda, menyusut harapan dan tawakal anda kepada Allah, itu artinya anda dihinggapi kesalahan, yaitu anda bersandar kepada amal dan tidak tergantung kepada Allah.Karena itu hendaklah anda meneliti kembali diri anda dan memperkokoh penyandaran diri kepada Allah dalam setiap keadaan.Kewajiban kewajiban syari’atpun mesti anda tunaikan, yaitu tobat, mengoreksi diri dan melakukan sebab sebab ( usaha ).
Bila seorang telah menapakan kakinya di jalan Allah, maka terbesit dalam hatinya kecintaan untuk meninggalkan asbab dan meninggalkan pekerjaan dunia.Kita akan jumpai kecenderungan ini pada golongan manusia ;yaitu ahli ibadah, orang yang zuhud, da’i yang menyeru kepada Allah dan orang yang alim.Bila mereka itu sudah menapakan kaki di jalan Allah, maka mereka memiliki semacam penglihatan untuk mecampakan pekerjaan pekerjaan duniawai ,agar dapatmencurahkan diri sepenuhnya untuk menkuni masalah masalah ukhrawi ( akhirat).
Seikh ibnu ‘Atha’illah mengajak kita untuk memperhatikan bahwa kecenderungan ini kadang lahir dari pengaruh hawa nafsu, dan bukan dari pengaruh dari kecintaan atau perkara ukhrawi yang tulus.bila kita menapakan kaki di jalan Allah,baik sebagai ‘abid(ahli ibadah),Zahid, da’i.ulama,atau orang yang mencari wilayah (kewaian()dan mencari petunjuk,maka beliau memperingatkan kita agar berfikir:”Apakah titian yang ku arungi ini pengaruh dari hawa nafsu ?”Misalnya, aku ingin ingin istirahat dari dunia dengan alasan berdakwah menuju Allah, menuntut ilmu, mengajar atau dengan dalih beribadah,padahal motivasi sesungguhnya untuk mencurahkan diri sepenuhnya(kepada Allah)itu adalah hawa nafsu .Karena itu beliau berkata:”Keinginanmu untuk tajrid (mencurahkan sepenuhnya),padahal Allah meletakanmu pada “asbab”(usaha lain/dunia) itu adalah syahwat yang samar.
Yang dimaksud dengan tajrid ialah meninggalkan pekerjaan pekerjaan duniawi.Beliau berpendapat bahwa jika Anda ditempatkan oleh Allah pada kedudukan asbab(duniawi),lantas anda berfikir untuk Tajrid(meninggalkan duniawai),maka ini adalah pengaruh syahwatmu yang tersembunyi.Karena itu seyogyanya anda tetap berada pada asbab, hingga Allah sendiri yang mengeluarkanmu;yaitu anda berusaha mencari pekerjaan duniawi kian kemari,namun tidak mendapatkan atau menemukan asbabnya, atau mungkin yang memiliki hal itu mengeluarkan anda, atau bisa juga terjadi dengan tiba tiba, maka kal itu diri anda harus mencurahkan untuk beribadah.ini adalah salah satu macam tajrid, karena itu teliti dan amati diri anda,sebab Allah meletakan anda disana.
Selanjutnya syeikh ‘Atha’illah menyeru agar memperhatikan adab dalam beramal, yaitu jika Allah meletakan anda pada asbab,maka tetaplah berpijak pada asbab.tunaikan apa yang anda mampu dalam menuntut ilmu,berda’wah, atau beribadah dan jangan berusaha untuk meninggalkan asbab(duniawai).Namun bila hal itu tidak lahir dari keinginanmu tetaplah anda,karena kadang Allah menahan asbab itu darimu,lalu anda mendapati terputus,maka disinilah letak TAJRID, atau tajrit itu kadang datang lantaran suatu sebab yang engkau tidak berdaya melawannya,yaitu engkau dituntut untuk meninggalkan asbab (oleh Allah) dan mencurahkan diri pada sesuatu yang hukumnya fardlu ‘ain atau fardlu kifayah.Contohnya adalah orang yang ditempatkan oleh Allah pada tempat tajrid tetepi ia tidak sengaja atau tidak memintanya,dan Allah menutup pintu pintu asbab dunia serta membuka pintu pintu ukhrawi, seperti menuntut ilmu, beribadah, dakwah atau pelayanan sosial, yang semua itu termasuk perkerjaan pekerjaan ukhrawi yang luhur maka inilah tajrid murni dan bagus serta tidak tercela.
Ketka engkau ditempatkan dalam kedudukan tajrid dan terbuka untukmu asbab da’wah,menuntut ilmu,berkhitmad untuk kepentingan umum,lantas engkau berfikir untuk meninggalkan tajrid,dan kembali kepada urusan urusan duniawi,maka engkau sesungguhnya jatuh terjungkal,merosot dan menurun.
Adlaah kemerosotan dari tingkat yang tinggi jika seseorang berada posisi tajrid, lalu ia berusaha untuk turun ke alam asbab karena tujuan duniawi.
Jika Allah menempatkanmu pada kedudukan orang yang ber tafarugh(konsentrasi penuh) dalam hal hal semacam ini,maka lakukanlah kewajiban kewajiban dengan tekun dan janganlah berfikir tentang dunia.Namun bila Allah menempatkanmu pada asbab, maka janganlah engkau meninggalkanya karena semata mata suka kepada taffaruq.Jika demikian halnya,maka luputlah dirimu dari dunia dan akhirat.Dunia terlepas darimu lantaran engkau tidak bekerja, dan akhirat tidak terjangkau olehmu lantaran niatmu tidak sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar